Archive for Desember 16th, 2010
- In: prosaku | thanks to
- 64 Comments
trilogi terakhir dari 2 cerpen kemaren
Siang disebuah sel penjara
Ruangan dengan sepercik sinar cahaya dari lampu pijar yang menempel di dinding, diujung dekat jendela bertelari besi itu seperti meninggalkan bayangan hitam. Bayangan atas sosok seorang narapidana, yang terhukum seumur hidup atas balasan kesalahannya sendiri, membunuh anak dari kekasihnya tersebut masih terdiam sambil menumpangkan wajahnya diatas meja berbentuk bundar, tak begitu besar. Hanya deru nafasnya yang berhembusan perlahan lahan seperti menantikan perjalanan sesosok ajal menjemput nyawanya sendiri.
Diam!
Tanpa bersuara. Sampai akhirnya ia mengangkat wajahnya tatkala seorang datang membawakan hidangan makan siang untuknya. Tetapi sosok tersebut tetap tak bersemangat menerimanya. Hidangan tetap dibiarkan tergeletak didepannya. Hanya jemari jemarinya saja yang ia mainkan, hingga akhirnya ia mau menatap wajah laki laki setengah baya itu, yang duduk disebelahnya.
Tatapan saling berpandang dalam ketidak jelasan maknanya. Hanya kesedihan terlihat digurat wajahnya.
“Kamu masih belum siap untuk bercerita banyak pada bapak,nak?”tanyanya lembut. Seperti pada anaknya sendiri.
Diam. Tak ada jawaban.
“Bisa kamu ceritakan alasan kamu membunuh anak dari kekasihmu itu?”tanya laki laki bernama edy kuswantoro pelan.
Diam
“Percuma kalau kamu tak mau bercerita jika pada akhirnya akan kamu bawa alasan tersebut di hadapan para penembak hukum nantinya. Ingat! Dua bulan lagi kamu akan berhadapan dengan regu tembak!” kalimat yang diucapkannya seperti menyentakkan bathinnya. Hingga kemudian ia mulai mau bercerita tentang sesuatunya.
Sunyi!
Dengus nafas seperti berpacu. Dan sosok narapidana tersebut seperti menempuh perjalanan yang panjang tak berujung tatkala keringat mulai membasahi tubuh sekitar wajah. Jemarinya bergetar.
“A……..ak……..aku tak tahu harus melakukan apalagi, Ajal sepertinya sudah mendekati nyawaku dan aku harus siap menghadapinya. Lalu selesai………mati!”dengusnya pelan seperti berbisik. Hingga pak tua itu, yang tanpa ia sadari adalah orang yang akan menyabut nyawanya sendiri.
Keduanya saling bertatapan.
Meski keteduhan gelisah membekas disekitar mata sosok tersebut.
“Percuma aku menjelaskan pada setiap orang yang bertanya perihal tersebut,”bisiknya pelan pada hati kecilnya sendiri,katanya lagi”Semuanya akan berakhir pada kematian. Dan itu meski aku terima sendirian.”
Kemudian tangisnya mulai merintih seperti anak kecil kehilangan mainannya sendiri. Airmata sudah rutun perlahan lahan. Kemudian ucapnya lagi”ku ingin menyusul i…………ibuku sendiri”
Mendengar kalimat terakhir sang bapak tua itu tersentak. Entah kenapa tiba tiba tubuhnya ikut bergetar. Sejenak memang hal sedemikian berlangsung namun sempat membuat sosok tersebut terkejut atas sikap itu. Melihat gelagak yang merisaukan oleh orang didepannya laki laki itu kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri, tepat dibelekang sosok tersebut. Tangannya kemudian membelai lengan sosok tersebut.
“Sabar…..dan sebaiknya kamu habiskan makan ini,”serunya. Dan beberapa detik kemudian laki laki tersebut sudah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan sosok terpidana mati tersebut sendirian. Sebelum ia mengunci pintu laki laki itu berkata lagi|”Kamu menyayangi ibumu,nak?” Mendapat jawaban itu sosok tersebut menganggukann kepalanya cepat. Dan ia hendak bertanya sesuatu namun laki laki tersebut segera mengunci pintu rapat rapat.
Diam dalam seribu bahasa menjelaskan kisah sebuah pertanyaan kerisauan tersebut
Dua haru menjelang hukuman mati berlangsung
Wajah pasrah sudah teramat melekat di sosok terpidana mati itu. Sepertinya ia sudah merelakan apa yang nanti akan terjadi. Bahkan ia sendiri sudah bisa menerima kenyataan bahwa dua hari lagi nyawanya akan terbang. Terbang menyusul neneknya yang sayang padanya, lalu menyusul bapaknya yang mati tragis kerana ulahnya yang sering mabuk mabukkan. Serta menyusul ibunya. Ibu yang ia sayangi, yang mati ditangan kakeknya sendiri. Terpidana itu kian mendekat dengan ajaran agama yang ia anut sendiri. Sesekali ia mengikuti pekerjaan yang dilakukan oleh para narapidana dipenjara tersebut.
Ia benar benar sudah ikhlas.
Hari kematiannya
Regu tembak sudah siap ditempatnya. Udara malam yang dingin sedikit menghibur pori pori nyawanya. Serasa menyegarkan ruang kematiannya. Wajahnya sudah ditutup kain hitam dan ia sendiri sudah diikat disebuah pohon yang hanya ada batang batang tua. Disebuah tempat yang sangat sunyi. Nyawanya sedetik lagi akan terbang melayang. Melayang mendekat nyawa orang orang yang selalu menyayanginya.
Sesaat sang ketua regu tembak berbisik ditelinganya,”Maafkan aku,nak. Maafkan kerana kamu terlibat atas permasalah ini. Aku sangat menyayangi ibunya, ia anak dari cinta pertama antara aku dan wanita itu. Sekali lagi maafkan aku,”bisiknya seperti meminta ampun. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke tempat dimana sudah berbaris para regu tembak tersebut. Sesekali ia menghempaskan nafasnya sebelum ada aba aba untuk melaksanakan tembakkannya di mulai.
Kemudian angin datang menerpa alam.
Kemudian suara letusan mulai terdengar.
lalu angin kembali berhembus bersamaan hembusan nafas atas kematian sang pidana tersebut.
Semua sudah menyelesaikan tugasnya. Dan bersiap siap untuk mengangkat jenazah sang pidana tersebut. namun tiba tiba terdengar suara tembakan. Setelah itu semuanya terdiam tatkala menyaksikan laki laki tua itu menembakkan tubuhnya sendiri. Semuanya segera mendekati. Dan mati!
Keesok harinya
Seorang laki laki yang berwajah kusuh serta pakaian yang tak karuan sedang mebaca surat kabar,kalimatnya seperti ini”Seorang anggota regu tembak mati bunuh diri setelah menyelamatkan narapidana,yang ternyata adalah anak dari seseorang yang dicintainya sampai mati. Dan narapidana tersebut menghilang entah kemana setelah ditukar dengan narapidana lainnya saat hukuman mati berlangsung.Dan………dan…………………………….
Laki laki itu tercengang!
Komentar Terbaru